Pengguna narkoba ditangkap hati saya menangis

Setiap kali ada penangkapan pecandu atau penyalah guna narkoba, hati saya menangis. Saya sedih. Ini dilematis. Di satu sisi, keberhasilan menangkap penyalah guna narkoba termasuk prestasi di kepolisian –sesuai fungsi utama polisi sebagai penegak hukum-, tapi di sisi lain, bagi yang tahu aturan sebenarnya, penangkapan itu malah menimbulkan keprihatinan.
Saya juga tahu, masih banyak kalangan belum memahami undang-undang nomor 35 tahun 2009 yang memuat kebijakan strategis pemerintah RI perihal pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran narkoba (P4GN). Padahal, roh undang-undang ini adalah rehabilitasi atau pengobatan. Intinya, dekriminalisasi –pelaku (penyalah guna narkoba) dianggap sebagai korban-.
Karena mengacu pada rehabilitasi, pemerintah RI membuat aturan turunan dari UU nomor 35 tahun 2009. Maka, jadilah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 12 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika. Dalam PP ini, tepatnya pasal 1 ayat 2, diterangkan bahwa institusi penerima wajib lapor adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk pemerintah.
Lalu, pada pasal 4 ayat 2, diterangkan lagi, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis sebagai institusi penerima wajib lapor (IPWL) ditetapkan menteri. Oleh menteri kesehatan RI, dikeluarkanlah surat keputusan bernomor 1305/MENKES/SK/VI/2011, yang isinya menunjuk 129 IPWL di seluruh Indonesia. Penyalah guna narkoba, termasuk orang yang wajib lapor ke institusi tersebut.
Nah, di Jambi, ada lima IPWL yang telah ditunjuk Menkes. Yakni, RS Jiwa Daerah Provinsi Jambi, RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi, RSUD H Hanafie Kabupaten Bungo, RSUD KH Daud Arief Kabupaten Tanjab Barat dan Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi. Kelima institusi ini wajib menerima laporan dari pecandu narkoba. Selain itu, berfungsi pula sebagai tempat rehabilitasi meliputi pengobatan, arahan psikologi dan langkah-langkah pengembalian korban ke lingkungan sosial sebagai manusia yang bersih dari pengaruh narkoba.
Sengaja saya menerangkan dasar-dasar hukum di atas sebagai penegas apa yang akan saya sampaikan berikutnya. Itu pula menjadi dasar kenapa hati saya sedih tiap kali ada penyalah guna narkoba yang ditangkap oleh anggota saya, jajaran Polda Jambi.
Penyalah guna narkoba, tidak termasuk pengedar narkoba, sudah wajar dianggap sebagai korban. Ya, mereka memang korban. Tak peduli apapun alasan mereka menggunakan narkoba, toh, efek yang ditimbulkan oleh narkoba akan mempengaruhi kehidupan penggunanya. Baik itu moral, ekonomi, kesehatan, maupun seluruh sendi kehidupannya. Mereka sangat patut dikasihani.
Ini pula yang saya sampaikan pada acara Talk Show Remaja dan Permasalahannya bertema Kampusku Bebas dari Narkoba, yang dilaksanakan BEM Universitas Jambi di aula rektorat lantai tiga Mendalo Darat, Selasa 6 Maret 2012. Pada acara itu, saya bilang ke mahasiswa bahwa pengguna narkoba bisa menjadi manusia bermoral jahat. Bahkan, penyalah guna narkoba potensial menjadi pembohong besar.
Dari ratusan jenis narkoba yang ada, efeknya bagi pengguna ada tiga: stimulan, halusinate dan moral. Efek stimulan bisa menimbulkan sensasi seseorang bersemangat dan bergairah, halusinate membuat salah persepsi, sedang efek moral membuat seorang pengguna narkoba menjadi takut dan menutup diri. Efek akhir, jaringan saraf otak terganggu, kesehatan fisik menurun drastis. Muaranya, penyalah guna narkoba nekat membohongi semua orang dan menghalalkan segala cara supaya bisa terus menggunakan narkoba, lagi, lagi dan lagi.
Situasi ini membuat dia tak peduli apapun. Baik itu keluarganya, keuangannya, kesehatannya, dirinya maupun masa depannya. Dia telah masuk ke wilayah indigo atau dunia lain yang tak tersentuh masyarakat umum. Makanya, dia butuh orang-orang yang bisa menariknya kembali ke dunia nyata –gambaran ini didapat dari salah seorang mantan pengguna narkoba, Heru, yang dihadirkan BEM Unja saat talk show berlangsung-.
Pecandu narkoba perlu ditolong. Seperti Heru bilang, ketika dia sedang mencapai titik puncak ketergantungan narkoba, dia, sampai terbaring sendiri di rumahnya. Telentang, tak berdaya dan putus asa. Untunglah saat itu keluarganya sangat peduli. Dia diurus, dimandikan, disuapi saat waktu makan, sehingga dalam hati kecilnya Heru merasa bersalah. Kepedulian dan kecintaan keluarganya yang sangat besar kepadanya, membawa kesadaran penuh pada diri Heru.
Lambat laun, Heru sembuh. Dia berhenti menggunakan narkoba tahun 2004. Bahkan, tahun 2010, Heru membuat komunitas khusus yang berfungsi sebagai pendamping bagi pengguna narkoba yang ingin sembuh, Jambi Drugs User Community (JDUC). Kelompok kerja (Pokja) ini di bawah naungan jaringan orang terinfeksi HIV/AIDS (JOTHI) Jambi. Anggota pokja yang diketuai Heru ini sudah mencapai 250 orang di seluruh provinsi Jambi. 250 orang!
JDUC berperan sebagai advokasi, edukasi dan pendamping medis bagi orang yang ketergantungan narkotika, psikotrofika dan zat aditif (Napza). LSM ini sangat baik dan patut didukung. Alamat sekretariatnya di Jalan Panglima Polim nomor 40 Kelurahan Pasar Kecamatan Pasar Jambi. Atau, bisa menghubungi Yuli di nomor 085266931640.
Kenapa saya mendukung pergerakan LSM ini? Alasannya, karena dalam UU nomor 35 tahun 2009 –seperti telah saya terangkan di atas-, LSM ikut dilibatkan ke dalam kebijakan strategis pemerintah menangani narkotika.
Sekarang kita bicara soal peran. Ada tiga strategi penting dalam P4GN yang dirancang pemerintah. Pencegahan, rehabilitasi dan penindakan. Pada pencegahan, institusi yang dilibatkan adalah seluruh instansi pemerintah, BNN dan LSM/masyarakat. Rehabilitasi, melibatkan seluruh instansi pemerintah, BNN dan LSM. Sedang penindakan hanya melibatkan polisi dan BNN.
Upaya pencegahan narkoba bisa pula dilakukan oleh masyarakat. Di lingkungan keluarga, kecintaan, kepedulian, keimanan dan pengetahuan, bisa diterapkan sebagai imun bagi anggota keluarga supaya mampu menolak pengaruh narkoba. Ketika satu anggota keluarga kena pengaruh narkoba, keluarga dituntut bisa berperan sebagai pembimbing dan pendamping setia bagi korban sampai korban benar-benar sembuh dari ketergantungan. Selain itu, saat inilah panti-panti rehabilitasi memegang peranan penting.

Jambi Urutan 6 Kerawanan Konsumsi Narkoba

Begitu masuk ke Jambi, dan menjabat sebagai Kapolda selama empat bulan terakhir, saya langsung gelisah. Baru dua bulan bertugas, sudah 170-an kasus penyalahgunaan narkoba ditindak oleh jajaran saya.
Lebih gelisah lagi saya begitu tahu Jambi berada di urutan keenam besar se-Indonesia yang rawan penyalahgunaan narkoba. Survei BNN bekerjasama dengan Universitas Indonesia tahun 2010, dinyatakan, dari 2,1 juta penduduk Jambi, 50.420 orang telah terlibat penyalahgunaan narkoba. Prevalensi (kerawanan konsumsi narkoba) setelah dibanding dengan jumlah penduduk, didapat angka 2,24 persen. Angka ini sangat tinggi dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.
50 ribu penduduk Jambi terkait narkoba. Ini sangat mengkhawatirkan. Perlu langkah-langkah penanganan segera agar sisa penduduk Jambi yang dua jutaan, tidak terseret ke dalam arus 50 ribu tersebut. Terlepas masih ada perdebatan soal keabsahan penelitian itu, toh, fakta ini harus disikapi semua pihak, tidak hanya oleh polisi.
Keyakinan saya dengan penelitian ini, didasari dari fakta paralel, jika penggunaan narkoba tinggi, maka pengidap HIV/AIDS juga tinggi. Apalagi ada survei terakhir, angka penderita HIV/AIDS di Jambi berada di peringkat 4 se-Indonesia. Untuk diketahui, 40 persen penyebaran HIV/AIDS berasal dari jarum suntik narkoba.
Parelal pula dengan hasil tangkapan polisi. Dari seluruh daerah dalam wilayah hukum Polda Jambi selama dua bulan, sudah 170-an kasus narkoba diungkap polisi. Sampai saat ini, setiap hari ada saja pengungkapan kasus narkoba dilakukan polisi.
Kembali lagi ke hasil penelitian BNN dan UI. Dari fakta itu bisa ditarik kesimpulan, 2,1 juta manusia di Provinsi Jambi harus dicegah agar tidak terpengaruh narkoba. Sementara, 50 ribu orang lainnya harus direhabilitasi.
Timbul pertanyaan, mau direhab di mana ke 50 ribu korban napza itu? Sudah adakah panti rehabilitasi di Jambi? Atau, sudah berjalankah IPWL yang ditunjuk Menkes di Jambi? Soal ini, saya belum dapat jawaban pasti. Yang jelas, jangan salahkan jika anggota saya terus menangkap para penyalah guna narkoba -meskipun sudah ada aturan tentang rehabilitasi-, dan jangan pula pedulikan hati saya yang sedih tiap kali ada penyalah guna narkoba yang ditangkap.
Mereka, para penyalah guna narkoba itu korban. Yang pelaku itu pengedarnya. Sekali lagi, tolonglah, bantu para korban ini… Bantu tegakkan UU nomor 35 tahun 2009. Biar hati saya tenang, tak menangis lagi.(*)

About anangiskandar

sabar itu indah sabar itu tanpa batas sabar itu jimat menghadapi ujian dunia sabar itu mata hati dalam menjalani kehidupan
This entry was posted in Narkoba. Bookmark the permalink.

Leave a comment